KEBOLAK BALIK HATI
#1 Pertanyaan Dan Perkataan Mengerikan
Ada pertanyaan,
pertanyaan yang paling saya takutkan : "Pak..., imanku lagi down... punya video tentang futur ngga pak?" 😒
Ada perkataan,
perkataan yang juga paling saya khawatirkan : "Bang.., Abang sekarang ngga kaya dulu, sholat subuh di bangunin mulu, udh ngga pernah ngaji lagi....." 😒
#2 Sefutur-futurnya Futur
Banyak video tentang futur, banyak tips / cara untuk mengatasinya dari para asatidz tapi yang menjadi kunci untuk tetap bertahan dalam keistiqomahan adalah "sefutur apapun iman kita jangan pernah tinggalkan yang wajib"
Lalu bagaimana jika yang wajib juga kita tinggalkan?
kita koreksi dan telusuri kembali tentang diri ini. ada nasehat bagus dari Ustadz Maududi Abdullah "Jika kita dalam masa futur telusuri diri kita, dalam hal apa kita telah melanggar apa yang telah Allah larang"
#3 Awalnya Futur
Tulisan berikut bukan sebagai buka2an aib tapi untuk diambil hikmah dan mungkin bisa jadi yg kita anggap sepela ternyata menjadi berat bahkan pangkal muara penyebab hilangnya manis dan nikmatnya berada dalam ketaatan. 👇
#4 diary menyebalkan
Kalau ada permintaan dari HSI untuk mereview "Halaqah mana yang kalian minati untuk diulang?"
saya akan pilih materi "beriman pada hari akhir"
karena pada materi tersebut saya menganggap diri ini bisa menikmati manisnya ibadah/iman. efek dari materi tersebut
- Ibadah lebih khusuk
- Sering menangis ketika shalat karena teringat dosa
- Lebih tenang menjalani dunia
Sayangnya keadaan tersebut saya coreng dengan kesalahan sendiri, sy tergiur dengan iklan di medsos perihal : "The Dream Theater – The Spirit Carries On - Show in Surabaya". spontan dengan semangat yang tak bersalah dan rasa haus plus terngiang dawaian alunan lagu tersebut di telinga mengantar saya menuju youtube, saya klik chanel lagu2 dream theater saya mulai bernyanyi, sy mulai berteriak dan setiap kata/syair yg sy ucapkan salah_ sy ulang2 hingga sempurna, sy bak konser solo d auditorium tanpa penonton.
kejadian tsb pukul 23:00, Satpam yg melihat sy hanya terdiam dan ngga nyangka ngeliat perform sy saat itu.
Dan saat itu pula hingga kini sy tak bisa lagi
menikmati Khusuknya ibadah, tak menangis lg ketika shalat. Iblis telah berhasil menempelkan karat dan racunnya pada iman ini.
semoga menjadi pelajaran dan keteguhan hati utk temen2 agar istiqomah dalam meninggalkan musik.
#5
Para asatidzpun sering mengingatkan bahwa "satu kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan berikutnya" bisa jadi awalnya kita bermaksiat cuma dengan menikmati musik, setelahnya... lahir kemaksiatan baru... lalu tambah lagi kemaksiatan yang baru dan lebih seru... 😒
#6 Kilas Balik
Sebelumnya kita solid, kita bisa menangis bareng dalam hidayah sunnah, sekarang... atau mungkin nanti... kita menangis karena hilang manisnya hidayah sunnah (*ya Allah tetapkanlah hati ini di atas agamamu yg haq) karena ilmu yang pernah kita dapat tak kita ikat dan tak kita gigit kuat-kuat.
Kita ngga menyalahkan masa lalu tapi kita belajar lagi agar tak melakukan kesalahan berikutnya. Awalnya kita yakin bahwa musik memang haram dan telah kita tinggalkan tapi karena kondisi saat itu utk keperluan sekolah yang mengharuskan utk membuat karya cipta lagu sendiri hingga kita coba buat suguhan lagu dengan sepenuh kemampuan.
*Ternyata kita salah* 👉 tonton videonya klik https://youtu.be/zDlfieRNZDE
#7 selesai
*masihkah kita mau jor-joran cuma untuk ngebelain nilai mata pelajaran dari musik?*
Rekomendasi bacaan :
👉 https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html
https://muslim.or.id/20706-benarkah-musik-islami-itu-haram.html
https://muslim.or.id/36936-tiba-saatnya-aku-tinggalkan-musik-02.html
https://muslim.or.id/36940-tiba-saatnya-aku-tinggalkan-musik-03.html
https://muslim.or.id/36942-tiba-saatnya-aku-tinggalkan-musik-04.html
https://muslim.or.id/22664-perkataan-para-ulama-tentang-nyanyian-dan- musik.html
https://firanda.com/784-ajaran-ajaran-imam-syafi-i-yang-ditinggalkan-oleh- sebagian-pengikutnya-2-haramnya-musik.html
Hamba yg mudah futur
akih tyabU - 2020
Bagaimana cara sebuah kelompok pengajian Islam obscure menarik perhatian banyak musisi indie kelas kakap Ibukota? Kelompok ini tak hanya sukses membujuk mereka mengikuti pengajian tersebut, namun juga membuat banyak musisi dan figur dunia kesenian tersebut berbalik arah dan menyatakan musik haram.
Meski belakangan mulai kurang terdengar gaungnya, kelompok pengajian Al Ghuroba atau The Strangers sempat jadi buah bibir 1-2 tahun terakhir – terutama setelah nama-nama kelas kakap seperti dua personil band indie The Upstairs dan vokalis band Rumahsakit hijrah ke pengajian tersebut dan menarik diri dari musik. Yang seru, Al Ghuroba tak seperti kebanyakan pengajian yang terkesan ‘keras’ denga mengerikan. Pendekatan mereka yang menggunakan simbol-simbol budaya populer dan kampanye media sosial sukses menarik perhatian anak muda.
Pada 10 Juli 2015, Pamflet membuka obrolan dengan Koalisi Seni Indonesia (KSI) di kantor KSI di Pejaten, Jakarta Selatan, dan membedah lebih jauh tentang The Strangers. Pertanyaan kami, mula-mula, adalah mengapa sebuah kelompok pengajian dari aliran Islam Salafi yang biasanya cukup ‘keras’ dalam masalah akidah serta memiliki kesan non-toleran mau menggunakan musisi band yang bertobat, meme, video dan bulletin yang dikemas seperti zine alternatif untuk menyampaikan pesannya? Serta, pesan seperti apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan?
—-
Seorang penulis kritik kebudayaan populer, Hikmat Darmawan, dan seorang pengajar serta peneliti musik dan subkultur, Yuka Dian Narendra, kami undang ke KSI sebagai pembicara sore itu. Dimoderatori oleh mahasiswi jurusan Filsafat dan Agama dari Universitas Paramadina, Fatimah Zahrah, para peserta diskusi mendengarkan paparan dan pandangan dari kedua pembicara yang sangat seru.
Dari The Strangers, tutur Hikmat, kita dapat belajar bahwa pergerakan kelompok agama atau religi selalu merupakan respons dari permasalahan-permasalahan pada zamannya. Hikmat membandingkan The Strangers dengan gerakan Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) yang diikutinya ketika menjadi seorang pelajar di era Orde Baru.
Pada masa itu, perekonomian Indonesia yang sedang tumbuh memunculkan karakteristik kelas anak muda baru, yaitu kelas anak muda yang bisa menikmati uang saku dan mengkoleksi sesuatu. Ketika gaya hidup menjadi sebuah komoditas baru, bisa jadi, tuturnya, anak muda yang kemudian tertarik untuk mengikuti kelompok-kelompok pengajian seperti Tarbiyah adalah anak muda yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup kelas tertentu. Wacana yang dibangun Tarbiyah untuk mengajak anak-anak muda ini adalah wacana “perlawanan” terhadap konsumerisme dan gayahidup yang berlebihan.
“Ketika itu, kami diajari untuk selalu kritis dengan situasi terkini. Akibatnya, hingga sekarang saya mampu melihat sesuatu secara kritis dan menjadi seorang penulis kritik, walaupun sudah keluar dari kelompok pengajian,” ujar Hikmat seraya tertawa.
Menurut Hikmat, yang juga menarik untuk dicermati dari pendekatan yang digunakan oleh kelompok-kelompok pengajian yang mengajar anak muda adalah bagaimana kesadaran tentang ‘keselamatan diri’ dibangun. “Selama kelompok-kelompok pengajian masih mengajarkan tentang ini halal, itu haram—apakah musik haram, nonton film haram, pacaran haram, dan lain-lain sebagainya, maka wacana yang dibangun adalah keselamatan diri sendiri. Belum ada kesadaran tentang keselamatan bersama atau keselamatan sosial yang dibentuk.”
Yuka Dian Narendra, yang banyak meneliti tentang musik dan subkultur di Indonesia seperti Metal Satu Jari dan Black Kejawen, juga mengajukan sebuah pertanyaan yang menarik dari pengamatannya terhadap The Strangers: apakah benar-benar ada yang namanya ‘pertaubatan’ massal? The Strangers adalah sebuah kelompok pengajian yang beberapa anggotanya adalah musisi band yang bertaubat dan tidak lagi mau bermain musik.
Menurut Yuka, momen pertaubatan adalah momen yang dialami oleh individu dan bersifat sangat personal, sehingga ketika momen itu terjadi secara berkelompok atau kolektif, bisa jadi ada suatu pihak atau kekuatan yang menggerakkan kelompok itu. Bagi Yuka sendiri, motivasi seseorang untuk bergabung dengan kelompok pengajian atau kelompok religi tidak semata motivasi yang bersifat abstrak seperti mencari keselamatan di akhirat. Motivasi-motivasi tersebut juga bisa memiliki nilai yang riil seperti peluang ekonomi atau lapangan kerja.
Yuka juga membandingkan The Strangers dengan kelompok lain seperti Black Kejawen. Menurutnya, identitas “keterasingan” atau “keterpinggiran” selalu menjadi benang merah dari kelompok-kelompok subkultur.
“Setiap orang pasti pernah merasakan menjadi asing karena terpinggirkan, terdiskriminasi atau terkalahkan,” ujarnya.
Black Kejawen, misalnya, sebagai sebuah aliran kebatinan, adalah kelompok yang mengalami diskriminasi ganda. Karena jika seorang Muslim Jawa melakukan sebuah ritual kejawen, maka ia tidak hanya akan dianggap “kurang Islam”, tetapi juga “kurang cerdas” karena mempercayai hal-hal yang bersifat spiritual tradisional seperti ini. Kelompok seperti Black Kejawen mengakomodir anak-anak muda dalam benturan-benturan identitas tersebut dalam balutan musik, yang meski senantiasa dipandang sebagai sebuah subkultur namun keberadaannya bisa kita temui di banyak kota di Indonesia. Bagi Yuka, kelompok seperti The Strangers tak hanya memberi ruang bagi identitas-identitas yang terpinggirkan, mereka pun pintar menarik perhatian orang-orang lain yang ‘merasa terasingkan’ dengan wacana arus utama.
Sumber : Pamflet.or.id